Fatwa Imam Beujung Pada Peristiwa Tragis Dalam Sejarah Iran : Perjalanan Pahit Kelompok Mujahedin-e Khalq Di Iran - mediaportalpacitan.com

Breaking

SELAMAT DATANG DI MEDIA PORTAL PACITAN

Jumat, 02 Februari 2024

Fatwa Imam Beujung Pada Peristiwa Tragis Dalam Sejarah Iran : Perjalanan Pahit Kelompok Mujahedin-e Khalq Di Iran




Foto : Khoirul Ilham Koordinator Aliansi BEM Se - Pacitan


Opinion News
Rabu, 1 Febuari 2024

Media portal pacitan. com
Pacitan - Revolusi Iran1979 mengakibatkan perubahan besar dalam geopolitik negara tersebut. Selain menggulingkan Dinasti Pahlavi dan mendirikan Republik Islam dengan Ayatollah Khomeini sebagai Faqih atau Pemimpin Tertinggi, revolusi ini juga menghapus monarki Persia yang telah ada selama lebih dari seribu tahun. 

Ayatollah Khomeini, setelah naik sebagai Pemimpin Tertinggi, mengubah Iran dari negara pro-Barat menjadi republik Islam Syiah. Mujahedin-e Khalq (MEK), sebuah organisasi politik dan militer berhaluan kiri, memainkan peran kunci dalam revolusi ini. 

MEK menolak konsep kelas sosial dan memperjuangkan kesetaraan dalam masyarakat. Mereka juga menentang imperialisme, kolonialisme, zionisme, rasisme, dan perusahaan multinasional. Meskipun pandangan mereka bertentangan dengan pemerintahan Islam yang meyakini perlunya pemimpin tertinggi untuk mengawasi penerapan syariah Islam, MEK tetap bersekutu dengan Ayatollah Khomeini untuk menggulingkan Shah selama Revolusi Iran.

Pada bulan Desember 1979, terjadi perpecahan antara MEK dan Khomeini. MEK menolak untuk ikut serta dalam referendum yang akan mengesahkan konstitusi baru Republik Islam Iran. Mereka berpendapat bahwa konstitusi baru tersebut tidak memadai dalam nasionalisasi aset-aset luar negeri, menjamin keadilan sosial, mengatur kepemilikan pertanian, dan menolak gagasan masyarakat tanpa kelas. 

Mereka melihat konstitusi baru tersebut tidak berbeda jauh dengan konstitusi zaman Shah sebelum Revolusi Iran. Oleh karena itu, MEK mencalonkan pemimpin mereka, Massoud Rajavi, untuk Pemilihan Presiden Iran tahun berikutnya dengan harapan bisa mempengaruhi bentuk konstitusi sesuai keinginan mereka. Namun, Khomeini tidak dapat mengizinkan MEK mengambil bagian dalam pemilihan umum setelah menolak konstitusi yang telah mereka usulkan. 

Karena itu, MEK dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. Harapan MEK untuk membentuk konstitusi sesuai dengan keinginan mereka pun sirna.
Pada tahun 1980, pemerintah semakin meningkatkan tindakan represif terhadap MEK. Serangan yang terorganisir oleh milisi Pro-Khomeini terhadap markas, kantor, kios, toko buku, dan fasilitas lain milik MEK menyebabkan kematian ratusan anggota dan pendukung MEK, serta penangkapan ribuan orang lainnya. Bahkan istri Massoud Rajavi dan dua petinggi MEK juga menjadi korban dalam serangan tersebut. 

Tindakan pemerintah semakin memperbesar kebencian MEK terhadap pemerintah, dengan menuduh Khomeini mencoba mengambil alih revolusi untuk menguasai kekuasaan, membatasi kebebasan berpendapat, dan merencanakan sistem pemerintahan satu partai fasis yang dipimpin oleh seorang diktator. Sebagai balasan, MEK melakukan serangan yang menyebabkan kematian Presiden dan Perdana Menteri Iran yang baru terpilih. Tindakan ini tentu saja membuat Khomeini semakin marah.
Pada tahun 1982, Pemerintah Iran menyatakan MEK sebagai organisasi terlarang dan disebut sebagai "organisasi munafik nan kafir" oleh para Ulama Iran. 

Perburuan terhadap anggota dan pendukung MEK menjadi meluas, mengancam eksistensinya di Iran, sehingga mereka terpaksa melakukan pergerakan secara rahasia. Untuk menghindari kejaran, MEK kemudian memutuskan untuk pindah ke Prancis, tempat di mana mereka tinggal hingga tahun 1985. Namun, ketika hubungan diplomatik Prancis membaik dengan pemerintah Iran, MEK diusir dari Prancis. 

Saat itu, diktator Irak, Saddam Hussein, yang tengah terlibat dalam pertempuran sengit dengan Iran, melihat MEK sebagai sekutu potensial. Keduanya memiliki pandangan yang serupa, yaitu menentang berdirinya Republik Islam Iran.
Pada tahun 1986, MEK menerima dukungan finansial dan persenjataan dari pemerintah Irak, serta diberikan pangkalan militer yang berlokasi dekat perbatasan Iran. Sejak saat itu, MEK aktif terlibat dalam serangan yang dilakukan oleh Irak terhadap Iran. 

Salah satu contohnya adalah saat Operasi Forty Lights pada tahun 1988, di mana mereka berhasil menghancurkan ribuan tentara Iran dan merebut kota Mehran. Meskipun Khomeini telah menerima resolusi PBB untuk gencatan senjata dengan Irak, MEK tetap tidak puas dan terus berusaha untuk melihat kejatuhan Republik Islam Iran. 

Dalam Operasi Eternal Light, mereka berhasil menembus perbatasan Iran hingga sejauh 145 km dengan tujuan merebut ibu kota, Teheran. Namun, seiring masuknya MEK ke wilayah Iran, dukungan udara dan jalur pasokan mereka semakin terputus, membuat mereka menjadi rentan terhadap serangan. Ketika berada di luar jangkauan dukungan udara militer Irak, MEK menjadi rentan, dan Iran dengan cepat memanfaatkan kesempatan ini. 

Pasukan khusus yang diterjunkan di belakang garis MEK, serangan udara yang menghantam konvoi-konvoi MEK, serta serangan helikopter dengan misil anti-tank berhasil membuat pasukan MEK terdesak dan terpaksa mundur kembali ke Irak.
Invasi terakhir dalam Perang Iran-Iraq tidak hanya gagal dalam mencapai tujuan meruntuhkan rezim Khomeini, tetapi juga menjadi pemicu pembantaian terhadap puluhan ribu tahanan politik di Iran, di mana MEK menjadi salah satu korban. 

Ayatollah Khomeini menggunakan kegagalan invasi tersebut sebagai alasan untuk melakukan pembersihan terhadap anggota partai oposisi. Melalui fatwa yang dikeluarkannya, Khomeini menyatakan MEK dan partai berhaluan kiri lainnya sebagai musuh Allah yang harus dimusnahkan, sehingga pembantaian menjadi tidak terhindarkan. Meskipun MEK menjadi target utama, anggota partai oposisi lainnya seperti Partai Komunis Tudeh, Pegkar, dan Fedaian juga menjadi korban. 

Bahkan, tahanan politik yang sebelumnya telah dibebaskan, kembali ditahan untuk "dibersihkan". Mereka dimintai pertanyaan terkait keyakinan, afiliasi politik, atau keterlibatan dengan MEK. Pertanyaan-pertanyaan tersebut termasuk, tetapi tidak terbatas pada, permintaan untuk mengidentifikasi simpatisan MEK, mengecam MEK di depan kamera, serta pertanyaan keagamaan tentang ke-Islaman dan praktik ibadah.

Jika mereka dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan benar, maka mereka akan selamat dari kematian. Sebaliknya jika jawaban mereka mengecewakan, maka mereka akan digantung hingga tewas. 

Apa yang dialami oleh para tahanan sangat brutal. Di beberapa penjara, gadis muda mendapatkan kekerasan seksual oleh sipir penjara. Cambukan dan pukulan telah menjadi asupan sehari-hari. Banyak tahanan yang akhirnya menjadi tuli dan lumpuh akibat siksaan yang terus-menerus. Tak sedikit juga tahanan yang tewas akibat hal tersebut. Meskipun hukuman tersebut tidak pandang bulu-anak remaja dan wanita hamil juga tak luput dari siksaan, tahanan wanita cenderung mendapatkan hukuman yang lebih ringan.

Ayatollah Khomeini menyatakan bahwa menunjukkan belas kasihan terhadap musuh-musuh Allah dianggap sebagai sikap yang naif, dan pandangan tersebut mempengaruhi pendiriannya yang tegas terhadap para tahanan. Meskipun demikian, tidak semua tokoh pemerintah Iran sejalan dengan pandangan Khomeini tersebut, karena ada juga yang menyatakan penentangan. 

Secara khusus, Ayatollah Hossein Ali Montazeri, yang sebelumnya dianggap sebagai calon pengganti Khomeini, menyuarakan ketidak setujuannya melalui surat yang dia kirimkan kepada Khomeini.
Dalam surat yang dikirimkan kepada Khomeini, Montazeri mengatakan "Setidaknya ampunilah wanita yang memiliki anak. 
Dengan mengeksekusi beberapa ribu tahanan dalam beberapa hari tidak akan mencerminkan sifat positif dan bebas dari kesalahan. Sejarah akan mengingatmu sebagai penjahat"

Tentu saja, ketidaksetujuan yang ditunjukkan oleh Ayatollah Montazeri mengecewakan Khomeini. Bagaimana mungkin orang yang sebelumnya dianggap sebagai calon penerusnya tiba-tiba memberikan perlawanan? Akibatnya, Khomeini mengubah keputusannya untuk menjadikan Montazeri sebagai penerusnya

Informasi tentang penindasan terhadap tahanan politik di Iran disensor dengan ketat oleh pemerintah, sehingga jumlah korban yang jatuh tidak diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan kesaksian keluarga, diketahui bahwa ada 4.482 nama korban, sementara diperkirakan sekitar 30.000 orang hilang antara tahun 1981 hingga 1988. 

Keluarga korban tidak diizinkan untuk menjenguk mereka selama penahanan, menyebabkan kecemasan dan ketidakpastian terhadap nasib orang yang mereka cintai, yang mungkin telah dimakamkan secara massal tanpa tanda pengenal.
Untuk mengatasi ketidakpastian ini, keluarga korban dan beberapa korban yang selamat membentuk sebuah komisi internasional yang disebut "Iran Tribunal", terinspirasi oleh Stockholm Tribunal yang menyelidiki kejahatan perang Amerika Serikat di Vietnam.

 Sejak pendiriannya pada tahun 2007, Iran Tribunal telah melakukan kampanye untuk mendengarkan kesaksian para saksi dan mengumpulkan bukti guna membuktikan tuduhan mereka terhadap pemerintah Iran.
Perkembangan pesat peredaran informasi saat ini membuat Pemerintah Iran menghadapi kesulitan lebih besar dalam merahasiakan peristiwa-peristiwa tertentu. Pada tahun 2016, terjadi kebocoran rekaman yang memuat percakapan antara Ayatollah Montazeri dan beberapa pejabat Iran, membahas tindakan pembersihan terhadap tahanan politik. 

Dalam rekaman tersebut, Montazeri secara tegas mengutuk segala bentuk penindasan terhadap tahanan politik dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas di bawah pemerintahan Republik Islam Iran lebih besar daripada korban yang diakibatkan oleh kekejaman rezim Shah Pahlavi.

Sumber
- Abdorrahman Baroimand Fondation. 2013. The Massacre of Political Prisoners in Iran, 1988 : An Addendum : Witnes Testimonies and Official Statements.
- Piazza, James. 1994. The Democratic Islamic Repulic of Iran in Exile The Mojahedin-e Khalq and its Strunggle for Survival.
- Bamenji, Kaveh. 2005. Tehran Blues : Youth Culture in Iran. Londok : Saqi

Editor : Agus Hermawan

Tidak ada komentar: